Night and Wish
Anna Anggraeni.
Itulah namaku. Memang sih gak keren sama sekali kedengarannya. Aku
juga sering nalangsa banget kenapa bisa dikasih nama seperti itu.
Harusnya namaku setingkat Nadine (Chandrawinata?!), Angelina
(Jolie?!), Citra (Skolastika?!), Ayu (Soraya?!), Grace
(Simon?!),
January
(Christy?!),
Vicky
(Veranita?!), Ruth
(Sahanaya?!),
Avril (Lavigne?!),
Gisella (Anastasia?!)… Itu
yang aku mau! Atau paling enggak, yaah… Sandra (Dewi?!), Aura
(Kasih?!), Puput
(Melati?!),
Afifa (Syahira?!), Carissa (Putri?!) gitu deh. Masih lebih mendingan,
kan?
Kenapa juga harus
ANNA? Oh, please deh, kamseupay…
Anna?! Anggraeni pula! Aku lahir di kampung mana sih sebenernya?!
Anna bisa diartikan
dimana, yang maksudnya kebimbangan. Ih, sama aja, masih soal
kesedihan. Kalo mau lebih maksa, mungkin bisa dibilang ‘merANNA’.
Nah, kan? Sedih banget kan aku?!
Hmm… kalau lagi
ingin menghibur diri, aku bakal bilang nama ini dari Anna Kournikova
dan Anna
Mathovani.
Cuma, sapa sih yang
mau percaya nama panjangku adalah Anna Kournikova
atau Anna
Mathovani?
Mereka tinggal buka KTP ku dan ALAMAK!!!... Ketauan deh aslinya…
Anna Anggraeni!
Hiks hiks…
Berulang kali aku
protes sama bunda kenapa sih dikasih nama yang kayak gini? Adikku
saja namanya normal… Mifta Araya. Normal, kan? Huwh… gak adil
banget rasanya. Mestinya Mifta tuh dapat nama yang menyedihkan
seperti aku. Hmm, misalnya… Maratus, Painem, Lastri, Bibit,…
Hahahahaaa!
“Na, belum tidur?”
Kata-kata yang ada
dalam pesan masuk.
Kata-kata itu
pastilah Diernita Miliarvi. Tuh kan, nama temenku jauh lebih cakep.
Gimana aku nggak kebanting kalo lagi kenalan bareng-bareng?
Ada ceritanya tuh
soal ini. Waktu kita berdua kenalan dengan sekelompok cowok. Mereka
senyam-senyum waktu Arvi mengulurkan tangan sambil mengucapkan
namanya. Bahkan, ada yang terang-terangan nyeletuk gini, ‘Namanya
manis deh… kayak orangnya’. Lalu, berikutnya mimpi burukku.
Giliran aku harus katakan siapa namaku. ‘Anna’ aja sih yang
awalnya aku sebut. Tapi, ada yang komentar, “Pendek amat namanya.
Anna apa?”
Sewaktu aku masih
ragu, mau jujur atau ngibul aja dikit sambil nyebutin satu nama bagus
(Anna Kournikova atau Anna
Mathovani),
tiba-tiba si Arvi sudah ambil inisiatif duluan. Dia menyebutkan
namaku! Dan lengkap banget!!! Dan selanjutnya, aku nggak perlu
repot-repot nunggu lama untuk melihat mereka semua ngakak, ketawa
mendengar namaku yang kampungan dan pasaran begitu.
Suara getaran dering
seluler xpressmusic pun semakin keras.
“Na! Kalau belum
tidur, sini dong ke rumahku bantu aku! Aku mau luluran dulu nih.
Besok kan mau nge-date… Ayo dong, Na !”
Aku pura-pura tidur
aja ah. Males juga ngurusin Barbie centil yang satu ini. Bisa tidur
jam berapa aku nanti? Ini aja sudah hampir pukul setengah dua belas.
Kadang-kadang Arvi memang gak suka punya tata cara hidup. Tidur jam
lima pagi, bangun jam tujuh malam. Terus selanjutnya bisa tidur lagi
jam satu malam. Bangun lagi jam tujuh pagi. Aneh banget, kan?! Apa
jangan-jangan dia memang nggak punya jam alarm yang bener ya?
Dalam hati, aku
berniat membelikan kado jam alarm yang banyak dan besar-besar yang
dihubungin ke speaker sound system waktu dia ulang tahun nanti. Biar
sadar kapan jam sewajarnya mesti bangun dan tidurnya.
Suara seluler
xpressmusic-ku pun semakin kencang getarannya dan lagu Bring
Me to Life
dari Evanescene pun semakin merdu didengarkan.
Aku angkat deh
akhirnya tapi cuma aku dengarin aja suaranya yang kaya harimau.
“Annaaaaa! Masa
sih kamu sudah tidur jam segini?!” Dia masih belum menyerah.
“Woooooiiiiii!!! Mbak Anna Anggraeni!!!”
“Diam Vi, berisik
tau!!!!” Teriakanku reflek menggema tanpa sempat kukendalikan.
“Nah kan, belum
tidur juga! Ayo bantuin aku!”
Sial! Dia tahu
kelemahanku. Aku memang paling nggak tahan dipanggil dengan nama
superajaib itu. Aku pasti bakalan protes. Nah, karena tiga tahun
lamanya nggak pernah lepas dari Barbie bernyawa itu, otomatis dia
ngerti aku banget soal itu. Hebatnya lagi, dia juga bisa dengan
semena-mena bikin aku jengkel…
Dengan tampang
mengesalkan, aku berangkat deh ke rumah Arvi di Kedung Sroko. Padahal
sebelumnya aku capek banget habis ngerjain tugas filsafat dari Kukuh
Yudha Karnanta. Sapa lagi kalau bukan dosenku yang paling unyu-unyu
dan gaul sedunia dan seakhirat. Hehe… Mana tugas yang dikasih
selalu menguras otak mulai dari berpikir kritis akan Malam Ksatria,
review buku Jujun S. Sumantri, review Filsafat Barat, membuat kisah
tentang ‘kegalauan’, surat pribadi untuk pengajaran filsafat
Kukuh Yudha Karnanta, analisis film Perempuan
Punya Cerita,
review pelajaran hermeneutika, review tentang Paul Recouer hingga
analisis dan apresiasi terhadap beberapa karyanya yang berbau
filsafat gitu kayak Perempuan
Itu Terlahir dari Doa,
Padam
Lampu di Subuh Itu,
Ketika
Laki-Laki Jadi Terdakwa,
dan Post
Sastra: Laskar Pelangi “3D”,
sampai pada apa yang sedang aku garap barusan, yang tak lain adalah
membuat cerpen kisahku selama mempelajari filsafat.
Dengan tampang yang
terpaksa, sampai rumah Arvi aku buka pintu kamarnya.
Aku sengaja
memelototi makhluk sok cantik itu. Tapi, dia malah nggak merasa sama
sekali. Dengan wajah yang polos penuh senyum gitu tampangnya.
“Nah, Na… Aku
mau bersih-bersih dulu sebentar. Kamu siapin aja tuh lulurnya. Jangan
sampai kebanyakan dan jangan sampai kedikitan juga lho ya…,”
katanya tanpa prihatin sedikit aja dengan keterpaksaan diriku seorang
ini.
“Vi, besok aku
kuliah pagi nih…” Aku mencoba berusaha memberikan isyarat bahwa
‘aku mau tidur sekarang, mataku lelah habis ngerjain tugas-tugas
yang mengupas tuntas otakku!’.
“Iya, makanya kamu
cepet bantuin aku. Biar selesai nggak terlalu malam. Terus kamu bisa
tidur deh.” Dia berpindah masuk ke kamar mandi dengan santainya.
Aku menahan diri untuk tidak melempar dia dengan sandalku. Hmmm…
pakai apa ya?!
“Gimana kalau
ramuan lulurnya aku campurin kecoa baru tahu rasa kamu….,” ide
busuk ku pun muncul.
“Coba aja kalau
berani…,” gertakan Arvi. “Nanti aku bilang ke semua orang bahwa
mulai sekarang kamu minta dianggil Anna Anggraeni... eh, atau Anna
Painem aja?”
“Arvi
njengkelin!!!” Aku kesel banget sama cewek yang satu itu. Selalu
saja mengancam nggak jauh-jauh dari namaku.
Tapi, kalau itu yang
jadi ancamannya, aku memang nggak bisa apa-apa lagi deh. Tinggal
angkat bendera putih aja alias pasrah dengan hukum alam bahwa namaku
memanglah Anna Anggraeni bukan Anna Mathovani atau Anna Kournikova.
“Na, kenapa ya
Laskar
Pelangi
lebih rame peminatnya kalau dibuat film ketimbang versi novelnya,
trus kenapa sih dibuat jadi film ya sebenarnya, bukannya bagusan
kalau membaca langsung, lebih paham dengan keindahan kata-katanya
gitu?” tanya Arvi dengan penasaran.
“Hmm, masalah buat
loe, Vi? Tumben kamu tanya hal-hal seperti itu Vi? Mimpi apa aku
dengar kamu tanya begituan, biasanya ja yang ditanyain selalu masker,
lulur, lipgloss, kutek…”
“Huwh, ayo dung
Na, aku pengen sharing nih…” bujuk Arvi.
“Kasih tau gak
yah???” sambil tersenyum seakan mengece Arvi yang diburu rasa
penasaran.
“Anna Painem!!!”
“Iya,
deh aku buka bicara. Berkaitan
dengan problematika tersebut bila dikaitkan dengan aliran filsafat
dapat dibicarakan melalui dua topik. Topik pertama adalah ranah
marxisme, yaitu tanpa agensi yang memiliki kuasa di ranah tersebut,
Laskar
pelangi
tidak akan melejit seperti kemarin. Ideologi tidak mungkin
disosialisasikan ke masyarakat tanpa ada media dan sastra. Nah, yang
memiliki kuasa tersebut dinamakan sebagai tim suprastruktur yang
memiliki modal untuk memproduksi Laskar
Pelangi
dari segi rumah produksi, pemilik media massa cetak maupun
elektronik, periklanan, dan sutradara. Sedangkan dalam tim
infrastruktur adalah Andrea Hirata sebagai pengarang hanya bisa
memanfaatkan segala kemampuannya dalam hal mengarang dan menciptakan
tulisan. Sutradara adalah tim yang ingin menanamkan ideologi tertentu
kepada konsumen Laskar
Pelangi
melalui transformasi novel Laskar
Pelangi
menjadi Laskar
Pelangi
ala “3D”. Sutradara memahami bahwa sebagian besar dari masyarakat
adalah tipe yang menyukai instan untuk mengetahui suatu produk.
Sehingga reduksi terhadap beberapa struktur naratif novel sangat
signifikan. Dalam hal ini, sutradara harus menyediakan berbagai
strategi untuk melancarkan teknik praktik perlambangan tersebut.
Topik
kedua adalah ranah cultural
studies,
memahami sesuatu melalui kacamata bahwa di balik tindakan agen-agen
sastra tersebut terdapat maksud tertentu. Cultural
studies
sebagai suatu praktik representasi dan pemaknaan dalam kehidupan
manusia yang di dalamnya terdapat proses kontestasi ideologis dan
relasi kuasa yang terjadi secara simultan baik secara eksplisit
maupun implisit di balik penanda-penanda kebudayaan. Implikasi dari
hal tersebut menggunakan perpaduan lebih dari satu teori yang
digunakan membangunkan citra Laskar
pelangi.
Dengan begitulah Laskar
Pelangi
sebagai objek yang kritis terhadap pembentuk modernitas dan
masyarakat industri (suprastruktur) yang selalu berusaha memberikan
perubahan (emansipatoris) terhadap para penikmat Laskar
Pelangi.
Di sini sutradara memiliki kesadaran bahwa yang perlu
ditransformasikan dunia film, tidaklah harus dari karya penulis yang
sudah memiliki nama di ranah sastra, melainkan sesuatu di balik
tulisan karya Andrea Hirata yang dapat digunakan untuk menarik laba
dan menyampaikan ideologi tertentu. Dalam mengelaborasikan tulisan
Andrea ke dalam ranah visual tersebut dibutuhkan lebih dari sekedar
satu prespektif, melainkan bebeberapa perspektif yang mampu
membangkitkan kekuasaan, memberikan citra, dan tak ketinggalan lagi
salah satunya adalah nilai komersialnya. Dengan begitulah Laskar
Pelangi
jadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang menginginkan maksud
tertentu.”
“Hmm
jadi ada pihak-pihak yang terlibat ya di balik strategi itu ya, Na?”
“Ya
pastinya lha, Vi. Gak mungkin orang bertindak tanpa tujuan.”
“Trus
selain dari hal itu, kenapa ya wanita selalu lebih di bawah kastanya,
Na. Padahal kan cowok cewek kan sekarang uda setara, tapi kebanyakan
di keseharian kita masih ja kita jumpai hal tersebut???”
Di
dalam hati yang paling dalam mengerutu, haduh si Barbie centil ini
tanya mulu gak ada hentinya mana mata tinggal satu watt gini.
“Hmm, gini vi yang
mempengaruhi ideologi feminisme adalah konsep sosialisme dan konsep
Marxis. Menurut para feminis, kaum wanita merupakan suatu kelas dalam
masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu kelas laki-laki.
Tampaknya para feminis ini dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Frederick
Engels yang dalam bukunya- Origin
of the Family, Private Property, and the State
yang mengemukakan bahwa “Dalam keluarga, suami adalah borjuis dan
istri mewakili kaum proletar.”
Segi lain dari
argumentasi para feminis yang sejalan dengan pikiran-pikiran Marx
adalah bahwa wanita sebagai kelas yang tertindas dalam masyarakat
kapitalis, tidak memiliki nilai ekonomis, mengingat pekerjaan mereka
sebagai pengurus rumah tangga tidak berharga dan tidak bisa
dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki yang menghasilkan uang.
Di samping iu, para
ibu rumah tangga, yang jelas tertindas atau merupakan kelas proletar
yang dieksploitasi oleh golongan borjuis, tidak diberi kesempatan
untuk memiliki saran produksi, sehingga mereka mengalami alienasi dai
alat-alat produksi. Sehubungan degan itu, sejumlah aktivis feminis
ingin meniru usaha-usaha yang memberikan berbagai kemudahan terhadap
wanita guna memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada wanita untuk
ikut berperan di bidang produksi.
Perjuangan para
feminis pada umumnya tidak bertujuan untuk mengungguli atau
mendominasi kaum laki-laki. Meskipun wanita diidentifikasikan dengan
kelas proletar atau kelas yang tertindas, dan kaum pria disamakan
dengan kelas borjuis atau kelas penindas, gerakan wanita pada umumnya
tidak bermaksud membalas dendam dengan menindas atau menguasai
laki-laki. Gimana vi, aku uda ngantuk nih??”
“Iya juga sih, Na.
Bener banget kata-katamu kalau wanita ibarat kaum proletar yang
ditindas dan dikuras tenaganya oleh lelaki yang anggap aja kaun
borjuis, terutama dalam kehidupan berumah tangga.”
Akhirnya, ketika jam
menunjuk hampir pukul satu malam, aku baru bisa meletakkan kepala
lagi di bantal empuk. Wah, kurang ajar banget sih Arvi gak tahu diri,
dibantuin gak dikasih imbalan pula. Mana besok harus bangun jam lima.
Hampir saja aku
terlelap, sewaktu tiba-tiba sadar …. Aku belum ngucapin late night
wish !
Kamu tahu kan apa
itu? Pasti tahu? Ya, permohonanku untuk hari ini. Aku selalu minta
satu permohonan setiap malam (tapi-tapi kadang juga lebih dari satu).
Ini memang kebiasaanku. Nggak tahu sejak kapan hal itu dimulai. Tapi,
aku senang melakukan ritual ini. Dan kadang, wish yang aku inginkan
terkabul. Ya nggak semua sih…
By the way, jadi
late night wish aku malam ini adalah…’I wish I have a prettier
name and I wish I get score A at filsafat lesson with score more than
eighty…’
Nggak berguna banget
kan wish aku yang pertama.
Jelas gak bakalan
terkabul. Aku pernah usul buat bikin bubur merah. Aku ingin ganti
nama. Pertama kali bunda dengerin usulan itu langsung marah dan kayak
harimau yang mau menerka mangsanya gitu. “Jangan aneh-aneh apalagi
melanggar kodrat gitu!” katanya.
Padahal, yang buat
aku harus berhayal untuk punya nama bagus, ya Bunda juga. Ya kalau
namaku sebagus Diernita Miliarvi… Aku kan nggak sampai berhayal
segala kaya gini….
Kalau mimpiku yang
kedua mah moga-moga terkabul karena aku ingin bisa mengalahkan momok
yang buat menguras otakku selama dua semester ini. Hehe. Lulus dari
mata kuliah filsafat adalah suatu kemerdekaan tersendiri dan
kebahagiaan yang tiada tandingannya. Kalaupun beneran lulus dapat
nilai tertinggi, aku rela meluluri Arvi tiap hari sampai stok
ramuannya habis. Upzz jangan keras-keras nanti bisa gawat kalau Arvi
ndengerin nih!!
Biar aku cerita
dikit tentang mata kuliah filsafat yang udah aku jalanin… Boleh,
kan? Cuma supaya kalian bisa mengenal dan mengerti kondisiku saat
belajar filsafat.
Jadi, Kukuh Yudha
Karnanta adalah dosenku yang paling gaul, paham sama kesulitan
mahasiswanya, dan paling hebat lagi dia dosen yang beda dari
dosen-dosen yang lainnya. Kenapa aku bilang gitu?? Karena dia bisa
beradaptasi dengan mahasiswanya. Bahkan aja terkadang enggak gengsi
kalau harus nongkrong dengan mahasiswanya di kantin FIB sambil main
gitar. Kalau aku katakan sih dinamis. Di luar kelas bisa membaur
seperti teman, tapi ada kalanya dia tertib dan selayaknya dosen kalau
sudah memasuki kelas.
Ah apapun gayanya
yang penting dia manusia yang paling pintar deh menurutku. Gak pintar
gimana tulisannya ja uda punya nilai jual di berbagai media, selain
itu masih aja bisa membelah diri kaya amuba buat bagi waktunya antara
kuliah di Jogja dengan mengajar anak Unair.
Nah… lumayan jelas
kan cerita tentang dosen aku?
Giliran tentang
pelajarannya…
Dari awal, mata
kuliah pengantar filsafaf dan dialektika pemikiran sampai filsafat
ilmu, aku agak maju sih pola pikirnya dibandingkan Arvi si Barbie
centil itu. Hehe.. Tapi, bukan berarti aku sombong. Meski mata kuliah
filsafat itu susah, aku tetap mau mandiri ngerjain beberapa tuntutan
tugas dari KYK, alias Kukuh Yudha Karnanta! Aku bisa bertahan dan
mengatur pola pikir diri aku sendiri. Makanya, aku berusaha
semaksimal mungkin buat bisa membaca. Meskipun pada awalnya dari SD,
SMP, dan SMA aku gak seberapa suka membaca novel, cerpen maupun
tulisan huruf yang banyak. Aku cenderung dominan untuk fokus pada
pelajaran Biologi, Kimia, Fisika, dan Matematika.
Hmmmm, tapi
syukurlah deh sekarang aku bisa memasuki apa yang menjadi momok dalam
hidupku selama ini. Hehe… Kalau KYK dengar, pasti dia bilang gini…
“Wah, kayak hantu aja yang di backgroundnya rumah hantu Taman
Remaja Surabaya aja!”
Filsafat itu mah
sebenernya gak senakutin apa yang udah dibayangin kebanyakan
mahasiswa. Bahkan kalau kita gak tau dimana posisi kita berdiri, KYK
selalu bisa menunjukkan peta dimana titik kita berdiri. Asik kan
punya dosen kayak gitu.
“Apa sih yang jadi
kegalauan kalian belajar filsafat teman-teman?” ungkap KYK. “Nanti
akan saya tunjukkan posisi kalian pada peta yang akan menjadi alur
pembelajaran filsafat. Jika diibaratkan memainkan sebuah gitar,
apakah teman-teman sudah menemukan kunci nadanya?”
Aku hanya bisa
terdiam mendengarkan pertanyaan yang benar-benar dirasakan oleh
teman-teman mahasiswa yang belum menemukan titik kunci belajar
filsafat pada akhir semester ganjil.
Beberapa minggu lalu
salah satu dari teman sekelasku disuruh maju stand up filosofi. Sebut
saja Jack namanya.
“Silahkan bahas
satu permasalahan lalu kaitkan dengan filsafat apa!”
“Hmm apa ya pak
kira-kira? Yaudah saya akan bahas mengenai rokok”
Beberapa menit pun
telah berlalu, teman-teman di kelas terdiam dan bingung dengan
pembicaraan Jack ditambah lagi mata KYK yang mulai menaruh curiga.
“Sidang pun
dimulai!” kata salah satu teman yang duduk di sebelahku.
“Sidang apaan
emang beb??”
“Haduh Anna
Mathovani-ku yang super duper lemot, tuh liat teman kita yang udah
dua semester jalanin pelajaran filsafat tapi hasilnya nol Na!!!”
“Oalah… Kamu sih
beb, keadaan genting gini juga pakai istilah hukum segala, ya mana ku
tahu” dengan tampang yang lemot dan datar.
Saat itu memang
tampak wajah KYK yang agak miris dan nalangsa karena selama ini
menerangkan materi tapi diremehkan oleh mahasiswanya. Di sisi lain,
KYK mengingatkan Jack dengan halus dan nada yang enak, tak mau
melihat Jack terperosok pada prinsip yang memanfaatkan kuliah sebagai
sarana mendapatkan gelar aja.
“Janganlah merasa
siap dengan gelar yang sudah kamu kantongi nantinya, gimana caranya
saudara siap kalau sekarang aja tidak mempunyai kesiapan menerima
pelajaran. Aku gak mau kamu menyesal seperti saya yang lalu. Tidak
ada penyesalan di awal, penyesalan selalu muncul di akhir kalau kita
sudah mengalami akibatnya bro.”
Oh ya kok jadi
ngomongin orang sih? Takutnya ntar orangnya kesandung deh kalau
jalan. Ups, aku udah dosa besar nih hari ini…
Aku merasa seperti
makhluk bodoh yang mau aja menurut dengan permintaan Arvi. Padahal,
masuk akal nggak sih? Apa pentingnya aku harus bantuin dia ngelulurin
tubuhnya ya?
Tapi, saat ini akal
sehatku sudah dibuang jauh-jauh. Aku pura-pura marah dan jengkel
karena dia udah nyuruh-nyuruh aku tengah malam gini. Hihihi…
“Kamu lagi ngapain
sih, Na?”
“Emang kenapa sih?
Ganggu aja!” sewotku tanpa noleh.
“Ya, kan aku cuma
nanya kamu lagi apa…”
“Lagi ngucap late
night wish-ku buat hari ini.”
“Apaan tuh?”
“Ya ampun, kamu
udah kenal aku berapa lama , tapi masih belum paham juga soal yang
satu ini?”
“Gimana mau tahu
kalau kita aja beda atap, baru malam ni ja kamu tidur di kamarku!”
“Jadi, apa
maksudnya late night wish yang tadi, Na?”
Aku menarik napas
panjang, memejamkan mata sesaat…bersikap seperti melakukan sebuah
sinetron. Sekaligus buat Arvi makin penasaran. Aku juga gak mau
bicara sebelum ditegur dulu ah!!! Hahaha…
“Cepetan, Na!”
Tuh kan belum lima
detik , dia sudah nggak sabar
“Kamu pernah punya
mimpi, harapan atau sesuatu yang bener-bener ingin kamu wujudkan? Aku
yakin setiap orang pasti punya lah…”
“Hmmm iya aku
paham Na, tapi buat apa coba kaya gitu tiap hari Na?? Dasar kurang
kerjaan…,” ledek Arvi sambil membaringkan tubuh ke ranjang di
sebelahku.
Biarin
ah. Malas juga nanggepinnya. Lebih baik sekarang aku nutupin mata,
terus tidur nyenyak deh.
Arvi
terlihat masih komat-kamit bibirnya yang lengkap dengan segala masker
mukanya dan irisan bulat mentimun pada dua matanya. Dia termenung dan
melamun, Arvi pun menutup kedua matanya, lalu berkata dalam hati…
“Wish
aku malam ini… Aku ingin banget bisa bersahabat sama Anna selamanya
tanpa ada jurang yang memisahkannya. Karna Anna adalah sosok yang
unik dan setya tiap keadaanku, pastinya selalu mengingatkan tiap aku
salah jalan…”
THE END