RSS

Selasa, 02 April 2013








Night and Wish

Anna Anggraeni. Itulah namaku. Memang sih gak keren sama sekali kedengarannya. Aku juga sering nalangsa banget kenapa bisa dikasih nama seperti itu. Harusnya namaku setingkat Nadine (Chandrawinata?!), Angelina (Jolie?!), Citra (Skolastika?!), Ayu (Soraya?!), Grace (Simon?!), January (Christy?!), Vicky (Veranita?!), Ruth (Sahanaya?!), Avril (Lavigne?!), Gisella (Anastasia?!)… Itu yang aku mau! Atau paling enggak, yaah… Sandra (Dewi?!), Aura (Kasih?!), Puput (Melati?!), Afifa (Syahira?!), Carissa (Putri?!) gitu deh. Masih lebih mendingan, kan?
Kenapa juga harus ANNA? Oh, please deh, kamseupay… Anna?! Anggraeni pula! Aku lahir di kampung mana sih sebenernya?!
Anna bisa diartikan dimana, yang maksudnya kebimbangan. Ih, sama aja, masih soal kesedihan. Kalo mau lebih maksa, mungkin bisa dibilang ‘merANNA’. Nah, kan? Sedih banget kan aku?!
Hmm… kalau lagi ingin menghibur diri, aku bakal bilang nama ini dari Anna Kournikova dan Anna Mathovani.
Cuma, sapa sih yang mau percaya nama panjangku adalah Anna Kournikova atau Anna Mathovani? Mereka tinggal buka KTP ku dan ALAMAK!!!... Ketauan deh aslinya… Anna Anggraeni!
Hiks hiks…
Berulang kali aku protes sama bunda kenapa sih dikasih nama yang kayak gini? Adikku saja namanya normal… Mifta Araya. Normal, kan? Huwh… gak adil banget rasanya. Mestinya Mifta tuh dapat nama yang menyedihkan seperti aku. Hmm, misalnya… Maratus, Painem, Lastri, Bibit,… Hahahahaaa!
Na, belum tidur?”
Kata-kata yang ada dalam pesan masuk.
Kata-kata itu pastilah Diernita Miliarvi. Tuh kan, nama temenku jauh lebih cakep. Gimana aku nggak kebanting kalo lagi kenalan bareng-bareng?
Ada ceritanya tuh soal ini. Waktu kita berdua kenalan dengan sekelompok cowok. Mereka senyam-senyum waktu Arvi mengulurkan tangan sambil mengucapkan namanya. Bahkan, ada yang terang-terangan nyeletuk gini, ‘Namanya manis deh… kayak orangnya’. Lalu, berikutnya mimpi burukku. Giliran aku harus katakan siapa namaku. ‘Anna’ aja sih yang awalnya aku sebut. Tapi, ada yang komentar, “Pendek amat namanya. Anna apa?”
Sewaktu aku masih ragu, mau jujur atau ngibul aja dikit sambil nyebutin satu nama bagus (Anna Kournikova atau Anna Mathovani), tiba-tiba si Arvi sudah ambil inisiatif duluan. Dia menyebutkan namaku! Dan lengkap banget!!! Dan selanjutnya, aku nggak perlu repot-repot nunggu lama untuk melihat mereka semua ngakak, ketawa mendengar namaku yang kampungan dan pasaran begitu.
Suara getaran dering seluler xpressmusic pun semakin keras.
Na! Kalau belum tidur, sini dong ke rumahku bantu aku! Aku mau luluran dulu nih. Besok kan mau nge-date… Ayo dong, Na !”
Aku pura-pura tidur aja ah. Males juga ngurusin Barbie centil yang satu ini. Bisa tidur jam berapa aku nanti? Ini aja sudah hampir pukul setengah dua belas. Kadang-kadang Arvi memang gak suka punya tata cara hidup. Tidur jam lima pagi, bangun jam tujuh malam. Terus selanjutnya bisa tidur lagi jam satu malam. Bangun lagi jam tujuh pagi. Aneh banget, kan?! Apa jangan-jangan dia memang nggak punya jam alarm yang bener ya?
Dalam hati, aku berniat membelikan kado jam alarm yang banyak dan besar-besar yang dihubungin ke speaker sound system waktu dia ulang tahun nanti. Biar sadar kapan jam sewajarnya mesti bangun dan tidurnya.
Suara seluler xpressmusic-ku pun semakin kencang getarannya dan lagu Bring Me to Life dari Evanescene pun semakin merdu didengarkan.
Aku angkat deh akhirnya tapi cuma aku dengarin aja suaranya yang kaya harimau.
Annaaaaa! Masa sih kamu sudah tidur jam segini?!” Dia masih belum menyerah. “Woooooiiiiii!!! Mbak Anna Anggraeni!!!”
Diam Vi, berisik tau!!!!” Teriakanku reflek menggema tanpa sempat kukendalikan.
Nah kan, belum tidur juga! Ayo bantuin aku!”
Sial! Dia tahu kelemahanku. Aku memang paling nggak tahan dipanggil dengan nama superajaib itu. Aku pasti bakalan protes. Nah, karena tiga tahun lamanya nggak pernah lepas dari Barbie bernyawa itu, otomatis dia ngerti aku banget soal itu. Hebatnya lagi, dia juga bisa dengan semena-mena bikin aku jengkel…
Dengan tampang mengesalkan, aku berangkat deh ke rumah Arvi di Kedung Sroko. Padahal sebelumnya aku capek banget habis ngerjain tugas filsafat dari Kukuh Yudha Karnanta. Sapa lagi kalau bukan dosenku yang paling unyu-unyu dan gaul sedunia dan seakhirat. Hehe… Mana tugas yang dikasih selalu menguras otak mulai dari berpikir kritis akan Malam Ksatria, review buku Jujun S. Sumantri, review Filsafat Barat, membuat kisah tentang ‘kegalauan’, surat pribadi untuk pengajaran filsafat Kukuh Yudha Karnanta, analisis film Perempuan Punya Cerita, review pelajaran hermeneutika, review tentang Paul Recouer hingga analisis dan apresiasi terhadap beberapa karyanya yang berbau filsafat gitu kayak Perempuan Itu Terlahir dari Doa, Padam Lampu di Subuh Itu, Ketika Laki-Laki Jadi Terdakwa, dan Post Sastra: Laskar Pelangi “3D”, sampai pada apa yang sedang aku garap barusan, yang tak lain adalah membuat cerpen kisahku selama mempelajari filsafat.



Dengan tampang yang terpaksa, sampai rumah Arvi aku buka pintu kamarnya.
Aku sengaja memelototi makhluk sok cantik itu. Tapi, dia malah nggak merasa sama sekali. Dengan wajah yang polos penuh senyum gitu tampangnya.
Nah, Na… Aku mau bersih-bersih dulu sebentar. Kamu siapin aja tuh lulurnya. Jangan sampai kebanyakan dan jangan sampai kedikitan juga lho ya…,” katanya tanpa prihatin sedikit aja dengan keterpaksaan diriku seorang ini.
Vi, besok aku kuliah pagi nih…” Aku mencoba berusaha memberikan isyarat bahwa ‘aku mau tidur sekarang, mataku lelah habis ngerjain tugas-tugas yang mengupas tuntas otakku!’.
Iya, makanya kamu cepet bantuin aku. Biar selesai nggak terlalu malam. Terus kamu bisa tidur deh.” Dia berpindah masuk ke kamar mandi dengan santainya. Aku menahan diri untuk tidak melempar dia dengan sandalku. Hmmm… pakai apa ya?!
Gimana kalau ramuan lulurnya aku campurin kecoa baru tahu rasa kamu….,” ide busuk ku pun muncul.
Coba aja kalau berani…,” gertakan Arvi. “Nanti aku bilang ke semua orang bahwa mulai sekarang kamu minta dianggil Anna Anggraeni... eh, atau Anna Painem aja?”
Arvi njengkelin!!!” Aku kesel banget sama cewek yang satu itu. Selalu saja mengancam nggak jauh-jauh dari namaku.
Tapi, kalau itu yang jadi ancamannya, aku memang nggak bisa apa-apa lagi deh. Tinggal angkat bendera putih aja alias pasrah dengan hukum alam bahwa namaku memanglah Anna Anggraeni bukan Anna Mathovani atau Anna Kournikova.
Na, kenapa ya Laskar Pelangi lebih rame peminatnya kalau dibuat film ketimbang versi novelnya, trus kenapa sih dibuat jadi film ya sebenarnya, bukannya bagusan kalau membaca langsung, lebih paham dengan keindahan kata-katanya gitu?” tanya Arvi dengan penasaran.
Hmm, masalah buat loe, Vi? Tumben kamu tanya hal-hal seperti itu Vi? Mimpi apa aku dengar kamu tanya begituan, biasanya ja yang ditanyain selalu masker, lulur, lipgloss, kutek…”
Huwh, ayo dung Na, aku pengen sharing nih…” bujuk Arvi.
Kasih tau gak yah???” sambil tersenyum seakan mengece Arvi yang diburu rasa penasaran.
Anna Painem!!!”
Iya, deh aku buka bicara. Berkaitan dengan problematika tersebut bila dikaitkan dengan aliran filsafat dapat dibicarakan melalui dua topik. Topik pertama adalah ranah marxisme, yaitu tanpa agensi yang memiliki kuasa di ranah tersebut, Laskar pelangi tidak akan melejit seperti kemarin. Ideologi tidak mungkin disosialisasikan ke masyarakat tanpa ada media dan sastra. Nah, yang memiliki kuasa tersebut dinamakan sebagai tim suprastruktur yang memiliki modal untuk memproduksi Laskar Pelangi dari segi rumah produksi, pemilik media massa cetak maupun elektronik, periklanan, dan sutradara. Sedangkan dalam tim infrastruktur adalah Andrea Hirata sebagai pengarang hanya bisa memanfaatkan segala kemampuannya dalam hal mengarang dan menciptakan tulisan. Sutradara adalah tim yang ingin menanamkan ideologi tertentu kepada konsumen Laskar Pelangi melalui transformasi novel Laskar Pelangi menjadi Laskar Pelangi ala “3D”. Sutradara memahami bahwa sebagian besar dari masyarakat adalah tipe yang menyukai instan untuk mengetahui suatu produk. Sehingga reduksi terhadap beberapa struktur naratif novel sangat signifikan. Dalam hal ini, sutradara harus menyediakan berbagai strategi untuk melancarkan teknik praktik perlambangan tersebut.
Topik kedua adalah ranah cultural studies, memahami sesuatu melalui kacamata bahwa di balik tindakan agen-agen sastra tersebut terdapat maksud tertentu. Cultural studies sebagai suatu praktik representasi dan pemaknaan dalam kehidupan manusia yang di dalamnya terdapat proses kontestasi ideologis dan relasi kuasa yang terjadi secara simultan baik secara eksplisit maupun implisit di balik penanda-penanda kebudayaan. Implikasi dari hal tersebut menggunakan perpaduan lebih dari satu teori yang digunakan membangunkan citra Laskar pelangi. Dengan begitulah Laskar Pelangi sebagai objek yang kritis terhadap pembentuk modernitas dan masyarakat industri (suprastruktur) yang selalu berusaha memberikan perubahan (emansipatoris) terhadap para penikmat Laskar Pelangi. Di sini sutradara memiliki kesadaran bahwa yang perlu ditransformasikan dunia film, tidaklah harus dari karya penulis yang sudah memiliki nama di ranah sastra, melainkan sesuatu di balik tulisan karya Andrea Hirata yang dapat digunakan untuk menarik laba dan menyampaikan ideologi tertentu. Dalam mengelaborasikan tulisan Andrea ke dalam ranah visual tersebut dibutuhkan lebih dari sekedar satu prespektif, melainkan bebeberapa perspektif yang mampu membangkitkan kekuasaan, memberikan citra, dan tak ketinggalan lagi salah satunya adalah nilai komersialnya. Dengan begitulah Laskar Pelangi jadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang menginginkan maksud tertentu.”
“Hmm jadi ada pihak-pihak yang terlibat ya di balik strategi itu ya, Na?”
“Ya pastinya lha, Vi. Gak mungkin orang bertindak tanpa tujuan.”
“Trus selain dari hal itu, kenapa ya wanita selalu lebih di bawah kastanya, Na. Padahal kan cowok cewek kan sekarang uda setara, tapi kebanyakan di keseharian kita masih ja kita jumpai hal tersebut???”
Di dalam hati yang paling dalam mengerutu, haduh si Barbie centil ini tanya mulu gak ada hentinya mana mata tinggal satu watt gini.
Hmm, gini vi yang mempengaruhi ideologi feminisme adalah konsep sosialisme dan konsep Marxis. Menurut para feminis, kaum wanita merupakan suatu kelas dalam masyarakat yang ditindas oleh kelas lain, yaitu kelas laki-laki. Tampaknya para feminis ini dipengaruhi oleh pikiran-pikiran Frederick Engels yang dalam bukunya- Origin of the Family, Private Property, and the State yang mengemukakan bahwa “Dalam keluarga, suami adalah borjuis dan istri mewakili kaum proletar.”
Segi lain dari argumentasi para feminis yang sejalan dengan pikiran-pikiran Marx adalah bahwa wanita sebagai kelas yang tertindas dalam masyarakat kapitalis, tidak memiliki nilai ekonomis, mengingat pekerjaan mereka sebagai pengurus rumah tangga tidak berharga dan tidak bisa dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki yang menghasilkan uang.
Di samping iu, para ibu rumah tangga, yang jelas tertindas atau merupakan kelas proletar yang dieksploitasi oleh golongan borjuis, tidak diberi kesempatan untuk memiliki saran produksi, sehingga mereka mengalami alienasi dai alat-alat produksi. Sehubungan degan itu, sejumlah aktivis feminis ingin meniru usaha-usaha yang memberikan berbagai kemudahan terhadap wanita guna memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada wanita untuk ikut berperan di bidang produksi.
Perjuangan para feminis pada umumnya tidak bertujuan untuk mengungguli atau mendominasi kaum laki-laki. Meskipun wanita diidentifikasikan dengan kelas proletar atau kelas yang tertindas, dan kaum pria disamakan dengan kelas borjuis atau kelas penindas, gerakan wanita pada umumnya tidak bermaksud membalas dendam dengan menindas atau menguasai laki-laki. Gimana vi, aku uda ngantuk nih??”
Iya juga sih, Na. Bener banget kata-katamu kalau wanita ibarat kaum proletar yang ditindas dan dikuras tenaganya oleh lelaki yang anggap aja kaun borjuis, terutama dalam kehidupan berumah tangga.”
Akhirnya, ketika jam menunjuk hampir pukul satu malam, aku baru bisa meletakkan kepala lagi di bantal empuk. Wah, kurang ajar banget sih Arvi gak tahu diri, dibantuin gak dikasih imbalan pula. Mana besok harus bangun jam lima.
Hampir saja aku terlelap, sewaktu tiba-tiba sadar …. Aku belum ngucapin late night wish !
Kamu tahu kan apa itu? Pasti tahu? Ya, permohonanku untuk hari ini. Aku selalu minta satu permohonan setiap malam (tapi-tapi kadang juga lebih dari satu). Ini memang kebiasaanku. Nggak tahu sejak kapan hal itu dimulai. Tapi, aku senang melakukan ritual ini. Dan kadang, wish yang aku inginkan terkabul. Ya nggak semua sih…
By the way, jadi late night wish aku malam ini adalah…’I wish I have a prettier name and I wish I get score A at filsafat lesson with score more than eighty…’
Nggak berguna banget kan wish aku yang pertama.
Jelas gak bakalan terkabul. Aku pernah usul buat bikin bubur merah. Aku ingin ganti nama. Pertama kali bunda dengerin usulan itu langsung marah dan kayak harimau yang mau menerka mangsanya gitu. “Jangan aneh-aneh apalagi melanggar kodrat gitu!” katanya.
Padahal, yang buat aku harus berhayal untuk punya nama bagus, ya Bunda juga. Ya kalau namaku sebagus Diernita Miliarvi… Aku kan nggak sampai berhayal segala kaya gini….
Kalau mimpiku yang kedua mah moga-moga terkabul karena aku ingin bisa mengalahkan momok yang buat menguras otakku selama dua semester ini. Hehe. Lulus dari mata kuliah filsafat adalah suatu kemerdekaan tersendiri dan kebahagiaan yang tiada tandingannya. Kalaupun beneran lulus dapat nilai tertinggi, aku rela meluluri Arvi tiap hari sampai stok ramuannya habis. Upzz jangan keras-keras nanti bisa gawat kalau Arvi ndengerin nih!!



Biar aku cerita dikit tentang mata kuliah filsafat yang udah aku jalanin… Boleh, kan? Cuma supaya kalian bisa mengenal dan mengerti kondisiku saat belajar filsafat.
Jadi, Kukuh Yudha Karnanta adalah dosenku yang paling gaul, paham sama kesulitan mahasiswanya, dan paling hebat lagi dia dosen yang beda dari dosen-dosen yang lainnya. Kenapa aku bilang gitu?? Karena dia bisa beradaptasi dengan mahasiswanya. Bahkan aja terkadang enggak gengsi kalau harus nongkrong dengan mahasiswanya di kantin FIB sambil main gitar. Kalau aku katakan sih dinamis. Di luar kelas bisa membaur seperti teman, tapi ada kalanya dia tertib dan selayaknya dosen kalau sudah memasuki kelas.
Ah apapun gayanya yang penting dia manusia yang paling pintar deh menurutku. Gak pintar gimana tulisannya ja uda punya nilai jual di berbagai media, selain itu masih aja bisa membelah diri kaya amuba buat bagi waktunya antara kuliah di Jogja dengan mengajar anak Unair.
Nah… lumayan jelas kan cerita tentang dosen aku?
Giliran tentang pelajarannya…
Dari awal, mata kuliah pengantar filsafaf dan dialektika pemikiran sampai filsafat ilmu, aku agak maju sih pola pikirnya dibandingkan Arvi si Barbie centil itu. Hehe.. Tapi, bukan berarti aku sombong. Meski mata kuliah filsafat itu susah, aku tetap mau mandiri ngerjain beberapa tuntutan tugas dari KYK, alias Kukuh Yudha Karnanta! Aku bisa bertahan dan mengatur pola pikir diri aku sendiri. Makanya, aku berusaha semaksimal mungkin buat bisa membaca. Meskipun pada awalnya dari SD, SMP, dan SMA aku gak seberapa suka membaca novel, cerpen maupun tulisan huruf yang banyak. Aku cenderung dominan untuk fokus pada pelajaran Biologi, Kimia, Fisika, dan Matematika.
Hmmmm, tapi syukurlah deh sekarang aku bisa memasuki apa yang menjadi momok dalam hidupku selama ini. Hehe… Kalau KYK dengar, pasti dia bilang gini… “Wah, kayak hantu aja yang di backgroundnya rumah hantu Taman Remaja Surabaya aja!”
Filsafat itu mah sebenernya gak senakutin apa yang udah dibayangin kebanyakan mahasiswa. Bahkan kalau kita gak tau dimana posisi kita berdiri, KYK selalu bisa menunjukkan peta dimana titik kita berdiri. Asik kan punya dosen kayak gitu.
Apa sih yang jadi kegalauan kalian belajar filsafat teman-teman?” ungkap KYK. “Nanti akan saya tunjukkan posisi kalian pada peta yang akan menjadi alur pembelajaran filsafat. Jika diibaratkan memainkan sebuah gitar, apakah teman-teman sudah menemukan kunci nadanya?”
Aku hanya bisa terdiam mendengarkan pertanyaan yang benar-benar dirasakan oleh teman-teman mahasiswa yang belum menemukan titik kunci belajar filsafat pada akhir semester ganjil.
Beberapa minggu lalu salah satu dari teman sekelasku disuruh maju stand up filosofi. Sebut saja Jack namanya.
Silahkan bahas satu permasalahan lalu kaitkan dengan filsafat apa!”
Hmm apa ya pak kira-kira? Yaudah saya akan bahas mengenai rokok”
Beberapa menit pun telah berlalu, teman-teman di kelas terdiam dan bingung dengan pembicaraan Jack ditambah lagi mata KYK yang mulai menaruh curiga.
Sidang pun dimulai!” kata salah satu teman yang duduk di sebelahku.
Sidang apaan emang beb??”
Haduh Anna Mathovani-ku yang super duper lemot, tuh liat teman kita yang udah dua semester jalanin pelajaran filsafat tapi hasilnya nol Na!!!”
Oalah… Kamu sih beb, keadaan genting gini juga pakai istilah hukum segala, ya mana ku tahu” dengan tampang yang lemot dan datar.
Saat itu memang tampak wajah KYK yang agak miris dan nalangsa karena selama ini menerangkan materi tapi diremehkan oleh mahasiswanya. Di sisi lain, KYK mengingatkan Jack dengan halus dan nada yang enak, tak mau melihat Jack terperosok pada prinsip yang memanfaatkan kuliah sebagai sarana mendapatkan gelar aja.
Janganlah merasa siap dengan gelar yang sudah kamu kantongi nantinya, gimana caranya saudara siap kalau sekarang aja tidak mempunyai kesiapan menerima pelajaran. Aku gak mau kamu menyesal seperti saya yang lalu. Tidak ada penyesalan di awal, penyesalan selalu muncul di akhir kalau kita sudah mengalami akibatnya bro.”
Oh ya kok jadi ngomongin orang sih? Takutnya ntar orangnya kesandung deh kalau jalan. Ups, aku udah dosa besar nih hari ini…

Aku merasa seperti makhluk bodoh yang mau aja menurut dengan permintaan Arvi. Padahal, masuk akal nggak sih? Apa pentingnya aku harus bantuin dia ngelulurin tubuhnya ya?
Tapi, saat ini akal sehatku sudah dibuang jauh-jauh. Aku pura-pura marah dan jengkel karena dia udah nyuruh-nyuruh aku tengah malam gini. Hihihi…
Kamu lagi ngapain sih, Na?”
Emang kenapa sih? Ganggu aja!” sewotku tanpa noleh.
Ya, kan aku cuma nanya kamu lagi apa…”
Lagi ngucap late night wish-ku buat hari ini.”
Apaan tuh?”
Ya ampun, kamu udah kenal aku berapa lama , tapi masih belum paham juga soal yang satu ini?”
Gimana mau tahu kalau kita aja beda atap, baru malam ni ja kamu tidur di kamarku!”
Jadi, apa maksudnya late night wish yang tadi, Na?”
Aku menarik napas panjang, memejamkan mata sesaat…bersikap seperti melakukan sebuah sinetron. Sekaligus buat Arvi makin penasaran. Aku juga gak mau bicara sebelum ditegur dulu ah!!! Hahaha…
Cepetan, Na!”
Tuh kan belum lima detik , dia sudah nggak sabar
Kamu pernah punya mimpi, harapan atau sesuatu yang bener-bener ingin kamu wujudkan? Aku yakin setiap orang pasti punya lah…”
“Hmmm iya aku paham Na, tapi buat apa coba kaya gitu tiap hari Na?? Dasar kurang kerjaan…,” ledek Arvi sambil membaringkan tubuh ke ranjang di sebelahku.
Biarin ah. Malas juga nanggepinnya. Lebih baik sekarang aku nutupin mata, terus tidur nyenyak deh.



Arvi terlihat masih komat-kamit bibirnya yang lengkap dengan segala masker mukanya dan irisan bulat mentimun pada dua matanya. Dia termenung dan melamun, Arvi pun menutup kedua matanya, lalu berkata dalam hati…
“Wish aku malam ini… Aku ingin banget bisa bersahabat sama Anna selamanya tanpa ada jurang yang memisahkannya. Karna Anna adalah sosok yang unik dan setya tiap keadaanku, pastinya selalu mengingatkan tiap aku salah jalan…”

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Milik Anna Anggraeni 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .