RSS

Selasa, 02 April 2013

Rota dan WC Bernyawa


Hari masih pagi di rumah yang pagarnya sudah rapuh termakan udara dan waktu. Belum ada satu pun penghuninya yang bangun. Bila melongok sedikit ke dalam maka akan terlihat ember cucian piring di depan pintu lengkap dengan kotoran kucing di gundukan tanah. Kotoran kucing selalu menjadi masalah klasik tiap pagi. Sudah berkali-kali anak Opa dengan kucing kesayangannya yang sialan itu dikutuk oleh para penghuni rumah. Memberikan suwiran abon sebagai menu wajib kucing mujur itu.
Di lorong antara meja dan kursi tampaklah sosok itu, mengayunkan langkah jingkat-kucing menuju mereka. Sebagian besar model meniru hewan itu saat berjalan di atas panggung fashion show. Istilah lainnya… catwalk. Seekor kucing yang mengenakan lonceng di lehernya agar mudah dikenal. Sosok ini bertubuh bongsor dan sangat ramping. Sabuk besarnya kemerlip menutupi bentuk perutnya yang sedikit buncit. Ia mengenakan kaos tipis berwarna kulit dan celana jins ketat ala pensil. Dari ayunan jingkat-kucingnya menyembul pergelangan kaki kirinya melekat gelang berwarna emas dengan genta-genta kecil. Langkahnya seakan diiringi backsound dentingan genta. Kakinya yang berjinjit dalam balutan wedges Yongki Komaladi, juga bertali merah marun. Tas Furla berwarna merah muda mewah. Rambutya bagai gulungan ombak di pinggir pantai. Dari kejauhan matanya tampak hidup memakai lensa kontak biru laut.
Sosok itu kini berdiri di hadapan perempuan penghuni baru rumah Opa. Tubuh bongsornya menutupi tubuh renta Opa dan seorang perempuan itu.
“Rota, kenalkan ini Mara. Mara, kenalkan ini Rota.” Terdengar suara Opa menengahi pertemuan mereka.
Mara berdiri menyalami perempuan mahal itu. Tak sedikit pun Mara bisa menyembunyikan rasa irinya terhadap kecantikan perempuan itu. Wajah wanita itu seperti lukisan yang berhiaskan warna-warna mahal. Nampak sangat dewasa atau tua yang diperhalus. Bibirnya yang terbentuk dari sulaman pensil lipstik. Ukiran halus pensil warna coklat menyentuh sepasang alis layak bulan sabit. Tepat di bawah alisnya, menempel bulu-bulu renda yang mengelilingi matanya yang kecil. Kelopak matanya berlukiskan pelangi berwarna orange. Lukisan wajah itu ditata sangat rapi dan tak ubah seperti sebuah topeng yang amat cantik dan sempurna bagi siapa saja yang melihatnya. Kau pasti membayangkan bila topeng itu ditempelkan pada wajah kalian. Pastinya seribu pria di luar sana tersihir akan kilauan kecantikanmu. Tentunya rela melakukan apa saja.
“Siapa ya ini, sebelumnya belum pernah ketemu bukan?” Terdengar suara elegan perempuan itu.
“Ini Mara, Rota.” Terdengar jawaban Opa.
Tapi Mara seakan terpisah dari percakapan itu, matanya tertuju pada Rota dan telinganya seakan tak memiliki gendang suara.
Opa menepuk lengan dengan sindiran halus khasnya, agak melambai. Ia mengingatkan agar Mara tidak terlalu polos menunjukkan rasa irinya. Tak bisa dipungkiri lagi matanya yang membulat itu bisa terbaca oleh Opa. Sindiran itu membangunkan kesadaran Mara. Ia bergegas memperbaiki sikapnya, terlebih karena ia menduga bahwa Opa adalah orangtua Mara dan tentunya pemilik kos. Salah tindakan bisa-bisa dikeluarkan dalam hitungan detik. Tentunya ia harus menghargai siapa Rota. Di sisi lain, Rota yang usianya baru menginjak kepala dua sekitar lima tahun yang lalu, tampaknya merasa tidak terganggu sama sekali akan sikap penghuni baru ̶ Mara. Kelak Mara akan tahu Rota adalah sosok perempuan yang selalu ingin diperhatikan oleh siapapun di sekitarnya.
“Jadi, kamu penghuni baru di rumahku ya?”
Di sela-sela pembicaraan dua perempuan selisih lima tahunan itu, Opa pamit untuk membangunkan para penghuni manja dan lekas mempersiapkan kamar untuk Mara hingga beberapa bulan ke depan.
“H-hm… iya, Mbak.” Dalam benak ia protes: kok kamu tahu sih? Jangan-jangan Barbi centil itu peramal atau bahkan punya indigo, membaca pikiran orang! Wahhhh gawat dung!!! Sambil mengerutkan alisnya yang lebat dan membulatkan matanya yang sipit ke arah Rota.
“Jangan panggil aku Mbak dung… Kamu dengan aku kan sama-sama kepala dua bukan? Panggil aku nama saja. Rota.” Dipertegas dengan senyuman sambil menepukkan tangannya yang berhiaskan kuku lentik bercat merah marun mengkilat.
“Iya, Mbak Ota… eh… hmm… Ota.”
“Jangan sesekali panggil aku Ota Ya! Panggil aku Rota. R-O-T-A.” Perempuan sempurna itu mengeja mempertegas abjad namanya pada Mara.
“Siap… R-O-T-A.”
“Nanti sore kamu ada acara?”
“Tidak ada Mbak.” Kesalahan pun terulang kembali seakan gaguk dan lupa bagaimana caranya mengucapkan sebuah nama.
“Ups… sepertinya kamu harus latihan mengucapkan namaku dengan baik dan benar, Mara. Apa mau Opa keluarkan kamu detik ini juga???” Celetukan Rota seakan mempertegas dan mengancam penghuni baru yang tak punya wewenang apa pun di rumahnya itu. Tapi celetukan yang telah diucapkan olehnya ternyata hanyalah sebuah gurauan menguji mental si penghuni baru. Di balik raut kegalakannya tersimpan naluri yang ramah, bahkan gurauan.
Mara yang baru tersadar akan apa yang telah diucapkannya. “I-iya..R-Rota. M-maaf ya…” terdengar suara gagap Mara yang membabi buta, ketakutan akan dikeluarkan dari rumah yang dihuninya beberapa hitungan menit yang lalu. “Pagi-pagi seperti ini, mau kemana Rota?” Wajah penasaran Mara pun tampak jelas. Otakknya terus berputar-putar. Ke mana gerangan Rota pergi. Mengajar, terlalu menor. Kencan dengan pria di luar sana, terlalu formal. Tak henti-hentinya Mara memandangi Rota.
Dengan nada elegan Rota menjawab pertanyaan penasaran gadis lima tahunan di bawahnya itu, “Mau kerja lah Ra. Aku kan pengen beli baju bagus, make-up yang mahal, sepatu bermerk, dan tentunya perawatan rambut. Oh ya, jangan lupa nanti sore ikut aku jalan-jalan ya. Aku traktir deh.”
“Iya” jawab Mara dengan senyuman khasnya di balik keheranan yang teramat dahsyat.
Lama berdiri memandangi punggungnya di ujung jalan. Keadaan pagi-pagi itu membuatnya benar-benar shock. Sosok perempuan yang ditangkapnya sebagai perempuan galak dan judes ternyata di baliknya mempunyai selera humoris dan ramah.
♀♀♀
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa bapak dari perempuan itu, yang mereka sebut Opa, sangat pandai memasak. Hal itu telah terbukti sejak kemenangannya di sebuah ajang masak bergengsi di salah satu stasiun televisi swasta. Rumah Opa yang besar yang di dalamnya berisikan kamar yang tidak sedikit jumlahnya adalah kamar kos paling legendaris di daerah itu. Tak sedikit penghuni yang betah di rumah Opa dan tak hanya masakannya yang menarik perut. Tapi keramahan Opa tak ubah perempuan-perempuan manja penghuni rumah itu menganggap layaknya ayah sendiri. Semua apa yang dibutuhkaan anak perempuan manja itu terpenuhi bagai keberuntungan Nobita akan kehadiran Doraemon.
Perempuan yang biasa dipanggil Rota, adalah anak tunggal Opa. Rota dan Opa ditinggalkan Oma sejak ia berusia limabelasan. Niat Oma yang awalnya hanya ingin cari kesibukan ketika anaknya sudah masuk SMA. Oma meninggal saat pengerjaan pembangunan gereja. Oma yang seorang pendeta menyerahkan seluruh tenaganya untuk menyelesaikan walau dengan uang yang minim sehingga mereka mampu membayar banyak tukang. Sampai suatu hari ketika Opa bekerja di atap dan Oma menyerahkan seng untuk dipaku. Entah bagaimana caranya seng itu meluncur dari tangan ayahnya dan tepat mengenai leher Oma. Oma meninggal saat itu juga. Di depan gereja yang belum selesai terbangun. Tak sampai emapt minggu lamanya, setelah itu Opa menikah dengan salah satu anggota jemaat gereja. Meninggalkan gereja dengan atapnya yang belum selesai dipaku.
Sosok Rota paling disegani di rumah Opa. Rota amat galak, kegalakannya menyaingi Ibu Nobita. Tak satu pun penghuni rumah tua itu berani menentangnya. Bahkan mereka selalu menundukkan kepalanya ketika berhadapan dengan Rota dan satu lagi yang tak ketinggalan, kelembutan ketika berbicara.
Dengan mengangkut satu koper berwarna merah di tangan kanannya dan koper lainnya berwarna hitam di tangan kirinya, Mara bergegas menuju kamar yang telah disediakan Opa. Gadis duapuluhan itu melirik jendela, matahari mulai menghangat. Musim semi selalu membawa harapan baru. Tunas-tunas rumput dan pepohonan muncul di beberapa tempat seperti mengucapkan “Selamat tinggal musim dingin yang beku dan gelap. Selamat datang masa baru yang penuh harapan.” Kehidupan baru di rumah Opa seolah hadir bersama munculnya tunas-tunas baru yang disambut ceria burung-burung di udara.
Mara meletakkan foto-foto dirinya bersama Afan di meja lampu sisi kanan tempat tidurnya dan menempelkan foto-foto keluarganya di dinding bercat putih kapur. Di hadapannya terhampar bunga si lonceng paskah. Bunga itu muncul mengawali musim semi dan sering berbarengan dengan memasuki masa paska. Warnanya putih, tingginya kurang lebih mencapai sepertiga meter yang tumbuh dari umbi yang ditanam di beberapa tempat. Kalau diperhatikan bentuk bunganya seperti bunga Anggrek, tapi ukurannya tidak lebih besar dari Anggrek dan tentu saja mekarnya tidak lama seperti Anggrek. Tak sadar telah tenggelam bersama hayalan kumpulan bunga-bunga itu, setelah kesibukannya yang menguras keringatnya menata isi kamar yang akan dihuninya selama beberapa bulan ke depan. Hingga sore pun menjemput wajah lelah Mara.
Terdengar suara perempuan Barbi yang memasuki kamar gadis usia kepala dua itu. Dia satu-satunya orang yang tidak menertawakan begitu tahu nama lengkapnya. Iya, dia… Rota. The one and only special person.
Sewaktu Rota tak sengaja melihat fotokopi KTP yang berada tepat di atas meja lampu, dia hanya membaca dan bertanya dengan polos, “Kata Opa namamu hanya Mara? Kok bohong, sih?”
“Yaaah…” Mara tak bisa menjawab. Hal yang terjadi adalah Mara tak mungkin mengungkapkannya bahwa ia sendiri malu dengan namanya.
“Tapi, namaku juga sebenarnya bukan Rota Angelo, sih.”
Gadis kecil itu terkaget. Dan larut dalam momen autis. Mara mengangguk-angguk heran. Pengakuan itu terdengar sangat aneh di telinganya. Sebab tidak bisa dibuktikan kesalahan atau kebenarannya. Tapi Barbi ini pun sangat aneh penampakannya. Sebab tak bisa dibayangkan wajah asli di balik make-up ala panggung tahan hujan. Hah, baru tahu kalau Rota bisa malu dengan nama aslinya.
“Angelo itu nama Opa. Di akta lahir, namaku Rota Jati. Tapi, aku paling ogah nyebut-nyebut nama belakangorang yang sudah menyakiti orang yang paling kusayangi. Kalau bisa, aku mau ganti nama saja sekalian.”
“Mmm… Opa itu?” tanya Mara ragu-ragu.
“Iya. Meski aku tak pernah menganggapnya sebagai orangtuaku.”
“Oh…” Barangkali dia tidak suka namanya karena itu nama Opa yang telah menyakiti Oma. Alasan yang benar-benar mengharukan. “Aku malah jadi malu dengan diriku sendiri. Aku benci namaku sendiri hanya karena hal sepele yang tidak ada apa-apanya dibandingkan Rota.” Celetuknya dalam hatinya.
“A-aku… jadi malu denganmu, Rota.”
“Oh ya? Kenapa?”
“Karena aku tidak mau menyebutkan namaku. Aku tak suka namaku hanya saja kedengaran jelek. Padahal, alasanmu aja segitu seriusnya…”
“Dasar anak baru usia kepala dua…” Ia tertawa lepas di balik topeng cantiknya. “Tidak ada hubungannya lah antara alasanmu dan aku. Lagian, menurutku, namamu tidak sejelek yang kamu kira.”
“Iya, Mara-nya masih mending. Tapi, belakangnya kan…”
“Anjani Khatulistiwa? Kenapa memangnya?” Wajahnya sangat datar saat mengucapkan perihal itu. Benar-benar membuat Mara heran seratus kali lipat.
“Kamu tuh sadar apa tidak sih seberapa kampungannya namaku?”
“Masa? Emang kampungan ya? Menurutku, tidak.”
“Aaaahh… tak perlu berusaha menghibur… Dari dulu juga aku tahu kok namaku memang memalukan… Nggak pantas disebut…”
“Mara… Kok bisa-bisanya sih kamu mikir seperti itu? Coba deh… Kalau misalnya namaku Iyem, barangkali kamu akan menertawakanku? Jadi, kamu bakal tidak mau kenal sama aku lagi? Seperti itukah?”
“Yaaah, ketawa sih mungkin… Tapi, tetap saja aku mau kenal dan dekat sama kamu.
Rota tersenyum manis. “That’s it. Itu yang kurasakan. Tapi, aku agak men-skip bagian depannya. Nama. Seperti apapun, sama sekali tidaklah lucu. Tidak ada yang perlu ditertawakan. Name is just a name. You can’t judge a person by the name, right?
Mara melihat kejujuran dan kebaikan hati di mata Rota sewaktu ia mengatakan itu. Dan, tiba-tiba saja “Mara Anjani Khatulistiwa” jadi tidak sejelek yang semenjak dulu ia pikirkan. Masih untung kan punya nama?
Thanks, Rota.”
For what? You don’t have to say thanks. I did nothing.”
Percakapan singkat di kamar ukuran sederhana itu membuat Rota tak sadar bahwa ia telah membantu Mara menyelesaikan ketakutannya selama ini. Ajakan Rota untuk jalan-jalan ternyata batal. Batal tertelan sesi curhat. Rota juga kelelahan sepulang kerja. Barbi itu juga menyadari kalau penghuni baru rumahnya menunjukkan wajah lelahnya.
♀♀♀
Mara mengenal baik Rota. Perempuan Barbi yang setiap malam bergelung di bawah terpal yang lembab dan bacin. Perempuan yang setiap pulang tubuhnya akan dipenuhi gigitan kelabang. Sejak pertemuan singkat pagi-pagi itu dan perbincangan hangat di kamar Mara, sejak itulah mereka bersahabat.
Kadang saat Rota pulang, Mara sudah menunggu di depan teras. Rota akan bercerita tentang lelaki yang menjadi pelanggannya. Rasa kesalnya karena pelanggan-pelanggan itu tak mau memakai kondom. Tak jarang juga ia mengeluarkan uang dari kutangnya sambil menggerutu. Uang kumal itu diletakkan di lantai dan Mara akan menghitungnya sambil tersenyum. Memamerkan pada Rota bahwa ia sudah pandai berhitung.
Karena Mara masih lugu, kepalanya hanya mengangguk-angguk walaupun tak sedikit pun ia pahami celoteh Rota. Ia juga tak tahu persis apa yang telah dikerjakan Rota saat malam tiba. Mara hanya tahu Rota sering naik taxi berhenti di bilik sempit dan lembab yang disekat goni lusuh. Di atas lantai papan kumal selebar badan. Tanpa penerangan sedikit pun dia telentang di lantai menunggu lelaki buang hajat layak wc bernyawa. Seorang lelaki separuh baya bergulat di atas tubuhnya yang ramping. Mereka tidak saling mengetahui nama masing-masing. Lelaki itu merasa tak perlu mengenal atau mengajak perempuan yang diajaknya bergumul itu berbicara, kecuali saat membicarakan harga.
♀♀♀
Suatu pagi Rota muntah-muntah. Badannya lemas. Dia hanya tergolek di tempat tidur. Rota memerintahkan Mara mengambil air untuk mengompres badannya. Rota duduk di sisi pembaringan sepanjang malam. Sesekali ia berlari ke dapur, mengambil air minum.
Tengah malam, Rota mengeluh badannya pegal dan meminta Mara memberi pijatan dengan berjalan di atas punggungnya.
“Aku tak memiliki uang Mara, makanya aku minta kau memijat punggungku. Kamu tak keberatan kan?” Rota memandang mata kecil Mara.
Mara menggeleng. Mara memijatnya hingga Barbi itu tertidur lelap.
♀♀♀
Rota hamil dan hendak dibuangnya bayi tak berguna itu. Pada saat itu janinnya baru berusia sekitar dua bulanan, bagian-bagian tubuhnya mulai terbentuk. Mara melirik Rota. Tangannya sedang megusap perutnya yang masih rata. Gadis lima tahun di bawahnya merasakan sahabatnya sedang bercengkrama dengan seseorang di dalam rahimnya. Dalam saat-saat genting itu Mara mencoba untuk medekati Rota. Meyakinkannya bahwa aborsi bukanlah jalan terbaik. Rota diam. Aku pun diam. Yang terdengar hanya kipas angin yang berdengung memainkan rambut gelombang Rota. Wajahnya pucat, matanya agak cekung dan taringnya keluar.
Tiba-tiba ponselnya bergetar.
Angelo calling…
Mara dan Rota ikut gemetar.
“H-halo pa.” Suaranya gemetaran seolah tak sanggup menopang tubuhnya.
“Iya, sehat pa. Ini aku sedang jalan-jalan sama Mara ke mall. Papa lagi apa di sana?”
“Ah kamu Ta, tetap aja sukanya shopping-shopping. Awas tuh dandanannya nanti luntur ya. Jangan malam-malam pulangnya, kasihan Mara seharian kelelahan menata kamarnya bahkan dia belum merasakan aroma tempat tidurnya.”
“Siap pa…”
Sampai di sini Rota lebih banyak diam. Pipinya basah. Hidungnya berair. Pembicaraannya dengan sang Papa telah usai dan mereka tampaknya masih kembali terdiam. Mata Mara menelusuri langit-langit kamar yang sedikit bolong dan berlumut terkena air hujan. Memiliki mimpi menjadi seorang pramugari walau harus irit sana sini. Mimpi menjadi pramugari handal dan profesional. Mara tak siap Rota harus kehilangan semuanya sebentar lagi jika perutnya membesar. Tapi dalam hati kecilnya, Mara yakin ia juga tak akan tega membuang bayi itu.
Semua celotehan itu semakin mengobarkan semangat Rota untuk menggugurkan lalat kecil yang bersemayam di rahimnya. Rota bergegas ke pasar dan membeli banyak nanas muda. Dalam pikirannya hanyalah bagaimana caranya mengeluarkan janin itu sebelum seluruh penghuni rumah akan tahu, tak terkecuali Mara. Rota makan nanas dengan kesurupan. Keesokan harinya badannya demam dan keluar darah segar dari bagian tubuhnya. Mara membawanya ke rumah sakit. Rota mewanti-wanti agar Opa tidak tahu. Dan semua rencana itu berjalan dengan lancar. Keduanya bernafas lega dan kembali ke rumah dengan wajah gembira. Bukan gembira menghabiskan waktu shopping. Gembira akan usahanya melenyapkan lalat kecil dalam kandungan Rota. Kedua pembunuh itu melebarkan lipatan bibirnya yang tipis dan saling berpelukan. Menyatakan telah lolos dari lem perekat ̶ Castol yang telah melekat di bagian tubuhnya. MERDEKA-MERDEKA !!
♀♀♀

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Milik Anna Anggraeni 2009. Powered by Blogger.Designed by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul .