Rota dan WC Bernyawa
Hari
masih pagi di rumah yang pagarnya sudah rapuh termakan
udara dan waktu. Belum ada satu pun penghuninya yang bangun. Bila
melongok sedikit ke dalam maka akan terlihat ember cucian piring di
depan pintu lengkap dengan kotoran kucing di gundukan tanah. Kotoran
kucing selalu menjadi masalah klasik tiap pagi. Sudah berkali-kali
anak Opa dengan kucing kesayangannya yang sialan itu dikutuk oleh
para penghuni rumah. Memberikan suwiran abon sebagai menu wajib
kucing mujur itu.
Di lorong antara meja dan kursi tampaklah sosok itu, mengayunkan
langkah jingkat-kucing menuju mereka. Sebagian besar model meniru
hewan itu saat berjalan di atas panggung fashion show. Istilah
lainnya… catwalk. Seekor kucing yang mengenakan lonceng di
lehernya agar mudah dikenal. Sosok ini bertubuh bongsor dan sangat
ramping. Sabuk besarnya kemerlip menutupi bentuk perutnya yang
sedikit buncit. Ia mengenakan kaos tipis berwarna kulit dan celana
jins ketat ala pensil. Dari ayunan jingkat-kucingnya menyembul
pergelangan kaki kirinya melekat gelang berwarna emas dengan
genta-genta kecil. Langkahnya seakan diiringi backsound dentingan
genta. Kakinya yang berjinjit dalam balutan wedges Yongki
Komaladi, juga bertali merah marun. Tas Furla berwarna merah
muda mewah. Rambutya bagai gulungan ombak di pinggir pantai. Dari
kejauhan matanya tampak hidup memakai lensa kontak biru laut.
Sosok itu kini berdiri di hadapan perempuan penghuni baru rumah Opa.
Tubuh bongsornya menutupi tubuh renta Opa dan seorang perempuan itu.
“Rota, kenalkan ini Mara. Mara, kenalkan ini Rota.” Terdengar
suara Opa menengahi pertemuan mereka.
Mara berdiri menyalami perempuan mahal itu. Tak sedikit pun Mara bisa
menyembunyikan rasa irinya terhadap kecantikan perempuan itu. Wajah
wanita itu seperti lukisan yang berhiaskan warna-warna mahal. Nampak
sangat dewasa atau tua yang diperhalus. Bibirnya yang terbentuk dari
sulaman pensil lipstik. Ukiran halus pensil warna coklat menyentuh
sepasang alis layak bulan sabit. Tepat di bawah alisnya, menempel
bulu-bulu renda yang mengelilingi matanya yang kecil. Kelopak matanya
berlukiskan pelangi berwarna orange. Lukisan wajah itu ditata sangat
rapi dan tak ubah seperti sebuah topeng yang amat cantik dan sempurna
bagi siapa saja yang melihatnya. Kau pasti membayangkan bila topeng
itu ditempelkan pada wajah kalian. Pastinya seribu pria di luar sana
tersihir akan kilauan kecantikanmu. Tentunya rela melakukan apa saja.
“Siapa ya ini, sebelumnya belum pernah ketemu bukan?” Terdengar
suara elegan perempuan itu.
“Ini Mara, Rota.” Terdengar jawaban Opa.
Tapi Mara seakan terpisah dari percakapan itu, matanya tertuju pada
Rota dan telinganya seakan tak memiliki gendang suara.
Opa menepuk lengan dengan sindiran halus khasnya, agak melambai. Ia
mengingatkan agar Mara tidak terlalu polos menunjukkan rasa irinya.
Tak bisa dipungkiri lagi matanya yang membulat itu bisa terbaca oleh
Opa. Sindiran itu membangunkan kesadaran Mara. Ia bergegas
memperbaiki sikapnya, terlebih karena ia menduga bahwa Opa adalah
orangtua Mara dan tentunya pemilik kos. Salah tindakan bisa-bisa
dikeluarkan dalam hitungan detik. Tentunya ia harus menghargai siapa
Rota. Di sisi lain, Rota yang usianya baru menginjak kepala dua
sekitar lima tahun yang lalu, tampaknya merasa tidak terganggu sama
sekali akan sikap penghuni baru ̶ Mara. Kelak Mara akan tahu Rota
adalah sosok perempuan yang selalu ingin diperhatikan oleh siapapun
di sekitarnya.
“Jadi, kamu penghuni baru di rumahku ya?”
Di sela-sela pembicaraan dua perempuan selisih lima tahunan itu, Opa
pamit untuk membangunkan para penghuni manja dan lekas mempersiapkan
kamar untuk Mara hingga beberapa bulan ke depan.
“H-hm… iya, Mbak.” Dalam benak ia protes: kok kamu tahu sih?
Jangan-jangan Barbi centil itu peramal atau bahkan punya indigo,
membaca pikiran orang! Wahhhh gawat dung!!! Sambil mengerutkan
alisnya yang lebat dan membulatkan matanya yang sipit ke arah Rota.
“Jangan panggil aku Mbak dung… Kamu dengan aku kan sama-sama
kepala dua bukan? Panggil aku nama saja. Rota.” Dipertegas dengan
senyuman sambil menepukkan tangannya yang berhiaskan kuku lentik
bercat merah marun mengkilat.
“Iya,
Mbak Ota… eh… hmm… Ota.”
“Jangan
sesekali panggil aku Ota Ya! Panggil aku Rota. R-O-T-A.” Perempuan
sempurna itu mengeja mempertegas abjad namanya pada Mara.
“Siap… R-O-T-A.”
“Nanti sore kamu ada acara?”
“Tidak ada Mbak.” Kesalahan pun terulang kembali seakan gaguk dan
lupa bagaimana caranya mengucapkan sebuah nama.
“Ups… sepertinya kamu harus latihan mengucapkan namaku dengan
baik dan benar, Mara. Apa mau Opa keluarkan kamu detik ini juga???”
Celetukan Rota seakan mempertegas dan mengancam penghuni baru yang
tak punya wewenang apa pun di rumahnya itu. Tapi celetukan yang telah
diucapkan olehnya ternyata hanyalah sebuah gurauan menguji mental si
penghuni baru. Di balik raut kegalakannya tersimpan naluri yang
ramah, bahkan gurauan.
Mara yang baru tersadar akan apa yang telah diucapkannya.
“I-iya..R-Rota. M-maaf ya…” terdengar suara gagap Mara yang
membabi buta, ketakutan akan dikeluarkan dari rumah yang dihuninya
beberapa hitungan menit yang lalu. “Pagi-pagi seperti ini, mau
kemana Rota?” Wajah penasaran Mara pun tampak jelas. Otakknya terus
berputar-putar. Ke mana gerangan Rota pergi. Mengajar, terlalu menor.
Kencan dengan pria di luar sana, terlalu formal. Tak henti-hentinya
Mara memandangi Rota.
Dengan nada elegan Rota menjawab pertanyaan penasaran gadis lima
tahunan di bawahnya itu, “Mau kerja lah Ra. Aku kan pengen beli
baju bagus, make-up yang mahal, sepatu bermerk, dan tentunya
perawatan rambut. Oh ya, jangan lupa nanti sore ikut aku jalan-jalan
ya. Aku traktir deh.”
“Iya” jawab Mara dengan senyuman khasnya di balik keheranan yang
teramat dahsyat.
Lama
berdiri memandangi punggungnya di ujung jalan. Keadaan pagi-pagi itu
membuatnya benar-benar shock. Sosok perempuan yang
ditangkapnya sebagai perempuan galak dan judes ternyata di baliknya
mempunyai selera humoris dan ramah.
♀♀♀
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa bapak dari perempuan itu, yang
mereka sebut Opa, sangat pandai memasak. Hal itu telah terbukti sejak
kemenangannya di sebuah ajang masak bergengsi di salah satu stasiun
televisi swasta. Rumah Opa yang besar yang di dalamnya berisikan
kamar yang tidak sedikit jumlahnya adalah kamar kos paling legendaris
di daerah itu. Tak sedikit penghuni yang betah di rumah Opa dan tak
hanya masakannya yang menarik perut. Tapi keramahan Opa tak ubah
perempuan-perempuan manja penghuni rumah itu menganggap layaknya ayah
sendiri. Semua apa yang dibutuhkaan anak perempuan manja itu
terpenuhi bagai keberuntungan Nobita akan kehadiran Doraemon.
Perempuan yang biasa dipanggil Rota, adalah anak tunggal Opa. Rota
dan Opa ditinggalkan Oma sejak ia berusia limabelasan. Niat Oma yang
awalnya hanya ingin cari kesibukan ketika anaknya sudah masuk SMA.
Oma meninggal saat pengerjaan pembangunan gereja. Oma yang seorang
pendeta menyerahkan seluruh tenaganya untuk menyelesaikan walau
dengan uang yang minim sehingga mereka mampu membayar banyak tukang.
Sampai suatu hari ketika Opa bekerja di atap dan Oma menyerahkan seng
untuk dipaku. Entah bagaimana caranya seng itu meluncur dari tangan
ayahnya dan tepat mengenai leher Oma. Oma meninggal saat itu juga. Di
depan gereja yang belum selesai terbangun. Tak sampai emapt minggu
lamanya, setelah itu Opa menikah dengan salah satu anggota jemaat
gereja. Meninggalkan gereja dengan atapnya yang belum selesai dipaku.
Sosok Rota paling disegani di rumah Opa. Rota amat galak,
kegalakannya menyaingi Ibu Nobita. Tak satu pun penghuni rumah tua
itu berani menentangnya. Bahkan mereka selalu menundukkan kepalanya
ketika berhadapan dengan Rota dan satu lagi yang tak ketinggalan,
kelembutan ketika berbicara.
Dengan mengangkut satu koper berwarna merah di tangan kanannya dan
koper lainnya berwarna hitam di tangan kirinya, Mara bergegas menuju
kamar yang telah disediakan Opa. Gadis duapuluhan itu melirik
jendela, matahari mulai menghangat. Musim semi selalu membawa harapan
baru. Tunas-tunas rumput dan pepohonan muncul di beberapa tempat
seperti mengucapkan “Selamat tinggal musim dingin yang beku dan
gelap. Selamat datang masa baru yang penuh harapan.” Kehidupan baru
di rumah Opa seolah hadir bersama munculnya tunas-tunas baru yang
disambut ceria burung-burung di udara.
Mara meletakkan foto-foto dirinya bersama Afan di meja lampu sisi
kanan tempat tidurnya dan menempelkan foto-foto keluarganya di
dinding bercat putih kapur. Di hadapannya terhampar bunga si lonceng
paskah. Bunga itu muncul mengawali musim semi dan sering berbarengan
dengan memasuki masa paska. Warnanya putih, tingginya kurang lebih
mencapai sepertiga meter yang tumbuh dari umbi yang ditanam di
beberapa tempat. Kalau diperhatikan bentuk bunganya seperti bunga
Anggrek, tapi ukurannya tidak lebih besar dari Anggrek dan tentu saja
mekarnya tidak lama seperti Anggrek. Tak sadar telah tenggelam
bersama hayalan kumpulan bunga-bunga itu, setelah kesibukannya yang
menguras keringatnya menata isi kamar yang akan dihuninya selama
beberapa bulan ke depan. Hingga sore pun menjemput wajah lelah Mara.
Terdengar suara perempuan Barbi yang memasuki kamar gadis usia kepala
dua itu. Dia satu-satunya orang yang tidak menertawakan begitu tahu
nama lengkapnya. Iya, dia… Rota. The one and only special
person.
Sewaktu Rota tak sengaja melihat fotokopi KTP yang berada tepat di
atas meja lampu, dia hanya membaca dan bertanya dengan polos, “Kata
Opa namamu hanya Mara? Kok bohong, sih?”
“Yaaah…” Mara tak bisa menjawab. Hal yang terjadi adalah Mara
tak mungkin mengungkapkannya bahwa ia sendiri malu dengan namanya.
“Tapi, namaku juga sebenarnya bukan Rota Angelo, sih.”
Gadis kecil itu terkaget. Dan larut dalam momen autis. Mara
mengangguk-angguk heran. Pengakuan itu terdengar sangat aneh di
telinganya. Sebab tidak bisa dibuktikan kesalahan atau kebenarannya.
Tapi Barbi ini pun sangat aneh penampakannya. Sebab tak bisa
dibayangkan wajah asli di balik make-up ala panggung tahan
hujan. Hah, baru tahu kalau Rota bisa malu dengan nama aslinya.
“Angelo itu nama Opa. Di akta lahir, namaku Rota Jati. Tapi, aku
paling ogah nyebut-nyebut nama belakangorang yang sudah menyakiti
orang yang paling kusayangi. Kalau bisa, aku mau ganti nama saja
sekalian.”
“Mmm… Opa itu?” tanya Mara ragu-ragu.
“Iya. Meski aku tak pernah menganggapnya sebagai orangtuaku.”
“Oh…” Barangkali dia tidak suka namanya karena itu nama Opa
yang telah menyakiti Oma. Alasan yang benar-benar mengharukan. “Aku
malah jadi malu dengan diriku sendiri. Aku benci namaku sendiri hanya
karena hal sepele yang tidak ada apa-apanya dibandingkan Rota.”
Celetuknya dalam hatinya.
“A-aku… jadi malu denganmu, Rota.”
“Oh ya? Kenapa?”
“Karena aku tidak mau menyebutkan namaku. Aku tak suka namaku hanya
saja kedengaran jelek. Padahal, alasanmu aja segitu seriusnya…”
“Dasar anak baru usia kepala dua…” Ia tertawa lepas di balik
topeng cantiknya. “Tidak ada hubungannya lah antara alasanmu dan
aku. Lagian, menurutku, namamu tidak sejelek yang kamu kira.”
“Iya, Mara-nya masih mending. Tapi, belakangnya kan…”
“Anjani Khatulistiwa? Kenapa memangnya?” Wajahnya sangat datar
saat mengucapkan perihal itu. Benar-benar membuat Mara heran seratus
kali lipat.
“Kamu tuh sadar apa tidak sih seberapa kampungannya namaku?”
“Masa? Emang kampungan ya? Menurutku, tidak.”
“Aaaahh… tak perlu berusaha menghibur… Dari dulu juga aku tahu
kok namaku memang memalukan… Nggak pantas disebut…”
“Mara… Kok bisa-bisanya sih kamu mikir seperti itu? Coba deh…
Kalau misalnya namaku Iyem, barangkali kamu akan menertawakanku?
Jadi, kamu bakal tidak mau kenal sama aku lagi? Seperti itukah?”
“Yaaah, ketawa sih mungkin… Tapi, tetap saja aku mau kenal dan
dekat sama kamu.
Rota tersenyum manis. “That’s it. Itu yang kurasakan.
Tapi, aku agak men-skip bagian depannya. Nama. Seperti apapun,
sama sekali tidaklah lucu. Tidak ada yang perlu ditertawakan. Name
is just a name. You can’t judge a person by the name,
right?”
Mara melihat kejujuran dan kebaikan hati di mata Rota sewaktu ia
mengatakan itu. Dan, tiba-tiba saja “Mara Anjani Khatulistiwa”
jadi tidak sejelek yang semenjak dulu ia pikirkan. Masih untung kan
punya nama?
“Thanks, Rota.”
“For what? You don’t have to say thanks. I did nothing.”
Percakapan singkat di kamar ukuran sederhana itu membuat Rota tak
sadar bahwa ia telah membantu Mara menyelesaikan ketakutannya selama
ini. Ajakan Rota untuk jalan-jalan ternyata batal. Batal tertelan
sesi curhat. Rota juga kelelahan sepulang kerja. Barbi itu juga
menyadari kalau penghuni baru rumahnya menunjukkan wajah lelahnya.
♀♀♀
Mara
mengenal baik Rota. Perempuan Barbi yang setiap malam bergelung di
bawah terpal yang lembab dan bacin. Perempuan yang setiap pulang
tubuhnya akan dipenuhi gigitan kelabang. Sejak pertemuan singkat
pagi-pagi itu dan perbincangan hangat di kamar Mara, sejak itulah
mereka bersahabat.
Kadang
saat Rota pulang, Mara sudah menunggu di depan teras. Rota akan
bercerita tentang lelaki yang menjadi pelanggannya. Rasa kesalnya
karena pelanggan-pelanggan itu tak mau memakai kondom. Tak jarang
juga ia mengeluarkan uang dari kutangnya sambil menggerutu. Uang
kumal itu diletakkan di lantai dan Mara akan menghitungnya sambil
tersenyum. Memamerkan pada Rota bahwa ia sudah pandai berhitung.
Karena
Mara masih lugu, kepalanya hanya mengangguk-angguk walaupun tak
sedikit pun ia pahami celoteh Rota. Ia juga tak tahu persis apa yang
telah dikerjakan Rota saat malam tiba. Mara hanya tahu Rota sering
naik taxi berhenti di bilik sempit dan lembab yang disekat
goni lusuh. Di atas lantai papan kumal selebar badan. Tanpa
penerangan sedikit pun dia telentang di lantai menunggu lelaki buang
hajat layak wc bernyawa. Seorang lelaki separuh baya bergulat di atas
tubuhnya yang ramping. Mereka tidak saling mengetahui nama
masing-masing. Lelaki itu merasa tak perlu mengenal atau mengajak
perempuan yang diajaknya bergumul itu berbicara, kecuali saat
membicarakan harga.
♀♀♀
Suatu
pagi Rota muntah-muntah. Badannya lemas. Dia hanya tergolek di tempat
tidur. Rota memerintahkan Mara mengambil air untuk mengompres
badannya. Rota duduk di sisi pembaringan sepanjang malam. Sesekali ia
berlari ke dapur, mengambil air minum.
Tengah
malam, Rota mengeluh badannya pegal dan meminta Mara memberi pijatan
dengan berjalan di atas punggungnya.
“Aku tak memiliki uang Mara, makanya aku minta kau memijat
punggungku. Kamu tak keberatan kan?” Rota memandang mata kecil
Mara.
Mara menggeleng. Mara memijatnya hingga Barbi itu tertidur lelap.
♀♀♀
Rota hamil dan hendak dibuangnya bayi tak berguna itu. Pada saat itu
janinnya baru berusia sekitar dua bulanan, bagian-bagian tubuhnya
mulai terbentuk. Mara melirik Rota. Tangannya sedang megusap perutnya
yang masih rata. Gadis lima tahun di bawahnya merasakan sahabatnya
sedang bercengkrama dengan seseorang di dalam rahimnya. Dalam
saat-saat genting itu Mara mencoba untuk medekati Rota. Meyakinkannya
bahwa aborsi bukanlah jalan terbaik. Rota diam. Aku pun diam. Yang
terdengar hanya kipas angin yang berdengung memainkan rambut
gelombang Rota. Wajahnya pucat, matanya agak cekung dan taringnya
keluar.
Tiba-tiba ponselnya bergetar.
Angelo calling…
Mara dan Rota ikut gemetar.
“H-halo pa.” Suaranya gemetaran seolah tak sanggup menopang
tubuhnya.
“Iya, sehat pa. Ini aku sedang jalan-jalan sama Mara ke mall. Papa
lagi apa di sana?”
“Ah kamu Ta, tetap aja sukanya shopping-shopping. Awas tuh
dandanannya nanti luntur ya. Jangan malam-malam pulangnya, kasihan
Mara seharian kelelahan menata kamarnya bahkan dia belum merasakan
aroma tempat tidurnya.”
“Siap pa…”
Sampai di sini Rota lebih banyak diam. Pipinya basah. Hidungnya
berair. Pembicaraannya dengan sang Papa telah usai dan mereka
tampaknya masih kembali terdiam. Mata Mara menelusuri langit-langit
kamar yang sedikit bolong dan berlumut terkena air hujan. Memiliki
mimpi menjadi seorang pramugari walau harus irit sana sini. Mimpi
menjadi pramugari handal dan profesional. Mara tak siap Rota harus
kehilangan semuanya sebentar lagi jika perutnya membesar. Tapi dalam
hati kecilnya, Mara yakin ia juga tak akan tega membuang bayi itu.
Semua celotehan itu semakin mengobarkan semangat Rota untuk
menggugurkan lalat kecil yang bersemayam di rahimnya. Rota bergegas
ke pasar dan membeli banyak nanas muda. Dalam pikirannya hanyalah
bagaimana caranya mengeluarkan janin itu sebelum seluruh penghuni
rumah akan tahu, tak terkecuali Mara. Rota makan nanas dengan
kesurupan. Keesokan harinya badannya demam dan keluar darah segar
dari bagian tubuhnya. Mara membawanya ke rumah sakit. Rota
mewanti-wanti agar Opa tidak tahu. Dan semua rencana itu berjalan
dengan lancar. Keduanya bernafas lega dan kembali ke rumah dengan
wajah gembira. Bukan gembira menghabiskan waktu shopping.
Gembira akan usahanya melenyapkan lalat kecil dalam kandungan Rota.
Kedua pembunuh itu melebarkan lipatan bibirnya yang tipis dan saling
berpelukan. Menyatakan telah lolos dari lem perekat ̶ Castol yang
telah melekat di bagian tubuhnya. MERDEKA-MERDEKA !!
♀♀♀
Tidak ada komentar:
Posting Komentar